Udara dingin pagi segera terasa ketika aku tiba di Bandara Charles de Gaulle, Perancis. Meski masih terhitung musim gugur, namun terlihat hujan salju sudah turun, walau masih tipis, mirip kabut.
Dengan membawa 2 koper dan sebuah tas oleh-oleh dari Jakarta, saya menaiki bis Roissy ke Opera, Paris. Sebenarnya pakaian saya tidak banyak, namun berhubung takut kedinginan, jadilah saya membawa pakaian hangat dan jas salju ekstra (coat) yang bikin sesak koper saya.
Dari Gedung Opera, tempat bis berhenti, saya harus mencari Metro ke arah Mairie d'Ivry atau Villejuif untuk sampai hostel. Sebagai turis, ini bukan hal mudah. Kebanyakan orang Perancis tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar, sehingga saya pun harus menduga-duga apa yang mereka coba katakan ketika saya bertanya tentang jalur 7 Metro. Selain itu, ternyata kebanyakan orang di Paris tidak tahu jalur Metro lain, selain jalur yang biasa mereka lewati. Beberapa kali saya dibuat nyasar, meski niat mereka tulus untuk membantu saya.
Di jalan, tidak terlihat terlalu banyak orang yang lalu-lalang, mungkin karena ini kebetulan hari libur dan masih 'terlalu pagi' bagi orang Perancis untuk bangun, bahkan berolah-raga. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Nyaris putus asa, setelah 3 jam tidak menemukan jalur kereta bawah tanah itu, saya mulai terpikir untuk naik taksi saja. Peta jalur-jalur Metro yang saya dapatkan, malah membuat tambah pusing! Untuk menelpon teman, saya perlu kartu telepon atau SIM card. Namun belinya di mana? Toko-toko tutup semua. Andai saja ada telepon koin... Betul-betul mirip film komedi Home Alone - Lost in Paris. Hanya saja, bawaan saya lebih banyak dari si kecil Culkin dan saya orang Asia yang tidak biasa dengan cuaca dingin seperti ini.
Untunglah, setelah naik-turun di lorong bawah tanah beberapa kali, akhirnya saya berhasil menemukan jalur kereta itu, walaupun harus kehilangan sarung tangan saya, lantaran harus merogoh kantong mencari uang kecil untuk membeli tiket Metro (untuk kesekian kalinya), dan juga membawa koper-koper saya yang berat. Badan terasa pegal-pegal setengah mati. Ditambah angin dingin yang merasuk hingga tulang. Saya pun langsung mandi air hangat setibanya di tujuan dan beristirahat sebentar.
Udara dingin membangunkan saya dari istirahat. Perut mulai keroncongan. Saya memutuskan untuk berjalan mencari makan, sekaligus mencari kartu telepon. Hasilnya nol besar, lantaran toko-toko dan kebanyakan resto tutup semua! Lalu lintas pun sepi luar biasa, seperti Jakarta saat libur lebaran. Ternyata di sini, inilah yang biasa terjadi setiap Sabtu dan Minggu. Bila di Jakarta, di hari libur masyarakat menyerbu mal-mal dan resto, di sini betul-betul libur semua. Resto yang buka hanya tempat makan Chinnese. Ya sudahlah...
Keesokan harinya, Paris baru 'hidup' kembali. Saya berjalan-jalan ke museum, galeri dan tentunya Eiffel. Paris membuat saya iri melihat budaya membaca, kebiasaan mendatangi pameran di museum dan galeri, dengan antusias masyarakat yang tinggi. Meski cuaca dingin dan butir-butir saiju pertama mulai menghias hari, tapi ternyata tak mengurangi tekad mereka menambah wawasan dan wacana. Sebuah budaya yang tertanam sejak masa kecil mereka. Lihat saja Paris Photo di Le Carrousel de Louvre yang diserbu pengunjung tua muda, besar-kecil, meski harus membayar tiket masuk seharga EUR15 atau senilai Rp.175.000,-! Bahkan pelajar pun harus membayar EUR7,5. Tapi walau cukup mahal, menurut panitia, tahun lalu mereka bisa mendatangkan 40.000 pengunjung. Bayangkan saja!
Selain pameran, acara ini juga menampilkan bazar buku-buku fotografi serta penjualan slide film asli karya Man Ray. Fotografer, galeri, agensi foto, majalah dan percetakan turut terlibat dalam acara ini. Sticker bulat berwarna merah yang ditempel di beberapa foto, menandakan bahwa foto itu sudah terjual. Dan, harga terendahnya EUR 1.500 per foto! Wah, mahal juga ya...
Sedangkan Pompidou, yang tiket masuknya EUR 10, adalah bangunan yang luar biasa luas. Untuk menikmati satu pameran saja, butuh 2-3 kali datang ke sana, itupun sudah pasti bikin pegal kaki dan mata. Di sini, saya menyaksikan 3 pameran kontemporer, pemutaran film Martin Scorsese, dan merambah perpustakaan besar, bazar, resto, cafe dan toko bukunya. Setelah puas dengan galeri dan museum, barulah saya pergi melihat Eiffel, Sungai Seine, Arc de Triomphe, Katedral Notredame, dan tujuan wisata umum lainnya. Tak ayal, kota cantik ini membuat saya tertidur pulas dalam mimpi indah.
Negara Perancis mendedikasikan bulan November bagi seni fotografi dan segala aspeknya. Di bulan ini, harga karya foto disetarakan dengan karya seni lainnya. November is less than 3 months away, guys! Get your plans in order, have your camera ready and go to France!
Kemacetan lalu lintas mulai terasa saat salju turun, sama halnya ketika hujan mengguyur Jakarta. Hanya raja, kemacetan dikarenakan licinnya jalan akibat saiju, bukan lantaran banjir. Para pengendara juga diharuskan menyalakan lampu kendaraannya, untuk mengurangi resiko kecelakaan akibat minimnya jarak pandang.
Bandarapun dipadati penumpang, meski beberapa penerbangan harus dibatalkan lantaran cuaca yang tidak mendukung. Otomatis, hotel-hotel dekat bandara menjadi penuh oleh penumpang pesawat yang penerbangannya dibatalkan atau ditunda. Fortunately, hotel-hotel ini memiliki layar informasi kedatangan dan keberangkatan online dari bandara. Canggih! Saya pun terpaksa menunggu semalam di salah satu hotel itu, sebelum akhirnya terbang meninggalkan Kota Paris yang chic dalam balutan salju. Au revoir.^^
Dengan membawa 2 koper dan sebuah tas oleh-oleh dari Jakarta, saya menaiki bis Roissy ke Opera, Paris. Sebenarnya pakaian saya tidak banyak, namun berhubung takut kedinginan, jadilah saya membawa pakaian hangat dan jas salju ekstra (coat) yang bikin sesak koper saya.
Dari Gedung Opera, tempat bis berhenti, saya harus mencari Metro ke arah Mairie d'Ivry atau Villejuif untuk sampai hostel. Sebagai turis, ini bukan hal mudah. Kebanyakan orang Perancis tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar, sehingga saya pun harus menduga-duga apa yang mereka coba katakan ketika saya bertanya tentang jalur 7 Metro. Selain itu, ternyata kebanyakan orang di Paris tidak tahu jalur Metro lain, selain jalur yang biasa mereka lewati. Beberapa kali saya dibuat nyasar, meski niat mereka tulus untuk membantu saya.
Di jalan, tidak terlihat terlalu banyak orang yang lalu-lalang, mungkin karena ini kebetulan hari libur dan masih 'terlalu pagi' bagi orang Perancis untuk bangun, bahkan berolah-raga. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Nyaris putus asa, setelah 3 jam tidak menemukan jalur kereta bawah tanah itu, saya mulai terpikir untuk naik taksi saja. Peta jalur-jalur Metro yang saya dapatkan, malah membuat tambah pusing! Untuk menelpon teman, saya perlu kartu telepon atau SIM card. Namun belinya di mana? Toko-toko tutup semua. Andai saja ada telepon koin... Betul-betul mirip film komedi Home Alone - Lost in Paris. Hanya saja, bawaan saya lebih banyak dari si kecil Culkin dan saya orang Asia yang tidak biasa dengan cuaca dingin seperti ini.
Untunglah, setelah naik-turun di lorong bawah tanah beberapa kali, akhirnya saya berhasil menemukan jalur kereta itu, walaupun harus kehilangan sarung tangan saya, lantaran harus merogoh kantong mencari uang kecil untuk membeli tiket Metro (untuk kesekian kalinya), dan juga membawa koper-koper saya yang berat. Badan terasa pegal-pegal setengah mati. Ditambah angin dingin yang merasuk hingga tulang. Saya pun langsung mandi air hangat setibanya di tujuan dan beristirahat sebentar.
Udara dingin membangunkan saya dari istirahat. Perut mulai keroncongan. Saya memutuskan untuk berjalan mencari makan, sekaligus mencari kartu telepon. Hasilnya nol besar, lantaran toko-toko dan kebanyakan resto tutup semua! Lalu lintas pun sepi luar biasa, seperti Jakarta saat libur lebaran. Ternyata di sini, inilah yang biasa terjadi setiap Sabtu dan Minggu. Bila di Jakarta, di hari libur masyarakat menyerbu mal-mal dan resto, di sini betul-betul libur semua. Resto yang buka hanya tempat makan Chinnese. Ya sudahlah...
Keesokan harinya, Paris baru 'hidup' kembali. Saya berjalan-jalan ke museum, galeri dan tentunya Eiffel. Paris membuat saya iri melihat budaya membaca, kebiasaan mendatangi pameran di museum dan galeri, dengan antusias masyarakat yang tinggi. Meski cuaca dingin dan butir-butir saiju pertama mulai menghias hari, tapi ternyata tak mengurangi tekad mereka menambah wawasan dan wacana. Sebuah budaya yang tertanam sejak masa kecil mereka. Lihat saja Paris Photo di Le Carrousel de Louvre yang diserbu pengunjung tua muda, besar-kecil, meski harus membayar tiket masuk seharga EUR15 atau senilai Rp.175.000,-! Bahkan pelajar pun harus membayar EUR7,5. Tapi walau cukup mahal, menurut panitia, tahun lalu mereka bisa mendatangkan 40.000 pengunjung. Bayangkan saja!
Selain pameran, acara ini juga menampilkan bazar buku-buku fotografi serta penjualan slide film asli karya Man Ray. Fotografer, galeri, agensi foto, majalah dan percetakan turut terlibat dalam acara ini. Sticker bulat berwarna merah yang ditempel di beberapa foto, menandakan bahwa foto itu sudah terjual. Dan, harga terendahnya EUR 1.500 per foto! Wah, mahal juga ya...
Sedangkan Pompidou, yang tiket masuknya EUR 10, adalah bangunan yang luar biasa luas. Untuk menikmati satu pameran saja, butuh 2-3 kali datang ke sana, itupun sudah pasti bikin pegal kaki dan mata. Di sini, saya menyaksikan 3 pameran kontemporer, pemutaran film Martin Scorsese, dan merambah perpustakaan besar, bazar, resto, cafe dan toko bukunya. Setelah puas dengan galeri dan museum, barulah saya pergi melihat Eiffel, Sungai Seine, Arc de Triomphe, Katedral Notredame, dan tujuan wisata umum lainnya. Tak ayal, kota cantik ini membuat saya tertidur pulas dalam mimpi indah.
Negara Perancis mendedikasikan bulan November bagi seni fotografi dan segala aspeknya. Di bulan ini, harga karya foto disetarakan dengan karya seni lainnya. November is less than 3 months away, guys! Get your plans in order, have your camera ready and go to France!
Kemacetan lalu lintas mulai terasa saat salju turun, sama halnya ketika hujan mengguyur Jakarta. Hanya raja, kemacetan dikarenakan licinnya jalan akibat saiju, bukan lantaran banjir. Para pengendara juga diharuskan menyalakan lampu kendaraannya, untuk mengurangi resiko kecelakaan akibat minimnya jarak pandang.
Bandarapun dipadati penumpang, meski beberapa penerbangan harus dibatalkan lantaran cuaca yang tidak mendukung. Otomatis, hotel-hotel dekat bandara menjadi penuh oleh penumpang pesawat yang penerbangannya dibatalkan atau ditunda. Fortunately, hotel-hotel ini memiliki layar informasi kedatangan dan keberangkatan online dari bandara. Canggih! Saya pun terpaksa menunggu semalam di salah satu hotel itu, sebelum akhirnya terbang meninggalkan Kota Paris yang chic dalam balutan salju. Au revoir.^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar